Nelayan Natuna, dari Keterasingan Hingga Pusaran Konflik Perbatasan Negara

0
Nelayan Natuna, dari Keterasingan Hingga Pusaran Konflik Perbatasan Negara. Tampak Pompong (perahu ber motor) salah satu moda transportasi laut utama bagi masyarakat Kabupaten Natuna maupun nelayan untuk melaut mencari ikan baru baru ini. (foto : dwi susilo-batamtv.com)

TANJUNGPINANG, batamtv.com – Arfi Zukri (23 Tahun) merupakan pemuda asal Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Saat ini ia, masih berstatus mahasiswa tingkat akhir, di salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Tanjungpinang. Tanjungpinang yang dikenal sebagai Kota Gurindam dan negeri pantun sendiri merupakan Ibukota Provinsi Kepulauan Riau, hasil pemekaran dari Provinsi Riau daratan sejak 2004 silam.

Berbeda dengan muda- mudi seumuran, Arfi dikenal sosok yang bersikap kritis dan peduli terhadap kondisi sosial masyarakat dan lingkungan disekitar terlebih daerah asalnya. Selain aksi unjuk rasa damai, belakangan dirinya kerap menyampaikan pandangan dengan berbagai keluh kesah yang ada, salah satunya terkait kondisi nelayan asal Natuna melalui konten video short yang telah dipublikasikan di akun media sosial bernama Mas Ar.

“Aku anak Natuna, karena aku anak Natuna aku ingin membahas suatu musibah yang terjadi Kabupaten Natuna,” ucapnya dalam video yang ditonton sebanyak 40,3 ribu dan disukai 1.511 netizen platfom tiktok itu.

Dalam video yang diunggah pada 20 April 2024 itu, Arfi menanggapi sebuah aktual, menyusul ditangkapnya 8 orang nelayan asal Pulau Serasan dan Pulau Subi, Kabupaten Natuna, oleh penjaga perairan Malaysia karena masuk tanpa izin. Dalam video tersebut, ia juga menampilkan tangkapan layar, bersumber dari media sosial “Natuna Bekawan” yang di repost dari media online.

Arfi pun memaklumi, alasan dilakukannya penangkapan terhadap nelayan lokal, disebabkan memasuki wilayah perairan Malaysia tanpa surat ijin. “Saya tidak menyalahkan mereka (pihak Malaysia) yang menangkap nelayan tersebut, karena disebuah negara ada aturannya,” tegas Arfi.

Namun, disisi lain dirinya justru mempersoalkan keberadaan jenis kapal lengkong yang berkeliaran di perairan Natuna. Dengan nada keheranan, Arfi sepertinya menyinggung pemerintah yang terkesan membiarkan saja keberadaan kapal lengkong mengeruk kekayaan alam di Natuna dengan jumlah yang banyak.

“Kalau yang ini macam mana, kapal lengkong ini masuk ke Natuna tanpa surat izin, apakah mereka ada surat izin? Kan ini jadi pertanyaan,” ucapnya dalam video itu.

Dua persoalan yang diulasnya, ada kaitan yakni habisnya ikan di perairan Natuna, sehingga nelayan lokal Natuna sendiri harus bersusah payah mencari sumber ikan hingga ke perairan negara tetangga, meskipun dengan resiko akan ditangkap dan dipenjarakan oleh aparat hukum setempat.

Kepada Oktarian dari Radarsatu.com Rabu (29/05) Arfi mengungkapkan, setelah video tersebut virall, banyak komentar yang datang umumnya dari netizen asal Natuna dan Kepulauan Anambas dan sekitarnya. “Masyarakat banyak menyampaikan, nelayan kapal lengkong dari Jawa masuk ada setoran kepada oknum, begitulah dugaannya,” ungkap Arfi.

Arfi mengungkapkan, jika sejak dahulu nelayan lokal Natuna, dan Anambas hingga kini, masih menggunakan alat tangkap tradisional. “Bila kapal lengkong dari Jawa maupun dari negara lain masuk di perairan Natuna maka nelayan Natuna kalah saing,” ujarnya.

Menurut Arfi nelayan lokal sangat menjaga, akan kelestarian lingkungan alam dengan kearifan lokal. Masyarakat nelayan kecil tidak mau menggunakan jaring karena dapat merusak ekosistem dan karang di laut. Sehingga walaupun tangkapan sedikit, namun bisa disisakan untuk generasi anak cucu.

“Selaku pemuda Natuna, meminta nelayan Natuna di perhatikan lebih, hari ini kita masih bisa makan ikan karena ada nelayan. Seandainya nelayan Natuna tidak di perhatikan baik dari segi kesehatan dan keselamatan mereka di laut, tidak bisa makan lagi kita,” tegasnya menutup pembicaraan.

Permasalahan yang menimpa warga Nelayan lokal seperti Natuna dan Anambas tentu saja bisa memicu konflik dan gejolak sosial di masyarakat.

Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Henri mengatakan, beberapa waktu lalu nelayan sempat mendatangi puluhan kapal pukat lengkong. Pasalnya, kapal yang berasal dari Pulau Sumatera dan Pulau Jawa itu nekat beroperasi di bawah 12 mil laut. “Selain Kapal pukat lengkong ada juga kapal cantrang yg bertonase diatas 30 GT, mereka sering menangkap ikan di bawah 4 mil laut dari bibir pantai” ungkapnya.

Lalu bagaimana upaya pemerintah, “Persoalannya pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan di laut tetapi pihaknya tetap menentang penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan di Natuna,” kata Wakil Bupati Natuna Rodhial Huda.

Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Natuna juga berkepentingan dalam menjaga dan membela nelayan yang menggantungkan hidup dari laut.

Kehadiran kapal-kapal yang berkapasitas di atas 30 GT itu juga membuat risau Pemkab Natuna. Lantaran para nelayan dikhawatirkan akan melakukan hal yang tidak diinginkan atau terjadi bentrokan.

“Kita sudah risau. Jangan sampai terjadi bentrokan dari nelayan. KKP harus maksimalkan pengawasan terkait masalah ini,” kata Rodhial Huda.

Nelayan Asing Semakin Berani Menjarah Laut Natuna

Memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah dari lautan yang begitu luasnya, ternyata membuat nasib miris yang tidak berkesudahan masih harus dialami masyarakat nelayan Natuna.

Saat mencari ikan di laut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sendiri keselamatan mereka mereka, sewaktu waktu bisa terancam oleh kapal asing yang Lego jangkar di perairan Kepulauan Riau.

Kepada batamtv.com, Fahrul Razzy salah seorang nelayan Natuna mengungkapkan, ditengah kondisi masih musim angin Utara yang dikenal ganas, aktifitas kapal asing yang merambah di perairan Kepri justru semakin menjadi jadi, ironisnya dalam situasi itu tak terlihat kapal pengawas perikanan pemerintah Indonesia yang turut mengawasi kapal-kapal asing tersebut.

“Kami kerap kali menerima intimidasi bahkan diusir awak atau nelayan asing bang,” ceritanya kepada Oktarian dari Radarsatu.com beberapa waktu lalu.

Dirinya pun menyuarakan kondisi nasib nelayan Natuna, yang merasa terganggu dengan keberadaan kapal kapal nelayan asing itu. “Tak hanya penghasilan yang dirugikan, keselamatan jika kami juga ikut terancam bg,” ungkap Fahrul Razzy.

Fahrul pun mengungkapkan kekesalannya, meskipun berada di perairan negara sendiri, namun seolah olah mereka merasa terasing, bukannya nelayan asing itu yang mencuri justru mereka (para nelayan lokal) yang dianggap mencuri. “Mereka selalu mendatangi kami, untuk mengusir, dengan membentak bentak,” kisahnya menambahkan.

Fahrul pun berharap ketegasan aparat penegak hukum pemerintah untuk meningkatkan pengawasan di perairan NKRI.

Menjawab kegelisahan yang dialami para nelayan Natuna, Pemerintah RI Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) nyatanya tidak tinggal diam, KKP sejak beberapa tahun terakhir terus gencar memberantas penangkapan ikan secara ilegal.

Setidaknya, komitmen itu dibuktikan sepanjang 2023 lalu KKP menangkap sebanyak 269 kapal ikan pelaku illegal, unreported, unregalated fishing (IUU fishing).

“Sebanyak 269 kapal ikan pelaku IUU fishing diamankan oleh Ditjen PSDKP KKP sepanjang 2023,” kata Laksamana Muda Adin Nurawaludin dikutip dari portal antaranews.

Langkah PSDKP sejauh ini sudah cukup baik, dengan melibatkan kelompok masyarakat (Pokmawas), tak tanggung tanggung di seluruh Indonesia jumlahnya mencapai 1.345 orang. Dengan tujuan membantu mengungkap praktik-praktik IUU fishing di Indonesia.

Pung Nugroho Saksono, selaku PLT Dirjend PSDKP disiarkan di Kompas TV pada 06 Mei 2024, menganggap Pokmawas sebagai mata dan telinga, “Kami merekrut nelayan menjadi pokwasmas, ini sangat efektif, kami tidak perlu membayar, kami tidak perlu memberikan insentif, mereka memberikan informasi secara cuma cuma,” jelasnya.

Menurut Ipung, adanya pencurian ikan ini mereka (para nelayan natuna) sangat di rugikan sebab harusnya ikan-ikan itu menjadi hak nelayan. “Mereka lapor secara cuma-cuma kepada kami secara sukarela dan kami melakukan tindakan di lapangan secara terukur, kita pastikan laporan yang disampaikan oleh masyarakat Natuna langsung kita proses dan tindak lanjuti,” tegasnya.

Ipung juga memastikan, bahwa negara hadir untuk pemberantasan illegal fishing di laut Natuna Utara, yang semakin hari semakin marak tidak ada habisnya. Disamping itu juga, keberhasilan dalam penangkapan kapal-kapal asing pencuri ikan di perairan Natuna Kepulauan Riau itu, tak lepas koordinasi serta kerjasama yang baik dengan TNI Angkatan Laut, Bakamla, Kepolisian. “Jadi kita pastikan laut kita jaga bersama-sama,” tambahnya.

Kekayaan SDA Maritim Natuna dan Potensi Konflik Batas Laut Negara

Pemerintah RI, sejauh ini cukup serius menjaga kedaulatan negara, terutama wilayah Natuna sebagai beranda terdepan NKRI. Sebagai respon atas berbagai manuver yang telah dilakukan negara Tiongkok setidaknya hampir 1 dekade terakhir. Pemerintahan RI merestui beberapa kebijakan strategis yang telah diambil Panglima TNI, diantaranya yakni, pada September 2019 menjadikan Kepulauan Riau, tepatnya Kota Tanjungpinang sebagai, pusat Komando gabungan wilayah pertahanan (Kogabwilhan I).

Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, mengatakan pembentukan Kogabwilhan I, II dan III merupakan representasi konsep interoperasibilitas TNI, terutama dalam menghadapi perkembangan lingkungan strategis yang dinamis.

“Kogabwilhan menjadi manivestasi keterpaduan antara kekuatan dan kemampuan TNI sebagai alat pertahanan negara dalam menghadapi berbagai ancaman yang semakin beragam,” katanya.

Panglima TNI menambahkan, sejak dibentuk Kogabwilhan telah berfungsi secara aktif menjadi Kotamaops (Komando Utama Operasi) TNI dalam melaksanakan operasi militer maupun operasi militer selain perang diwilayah tanggung jawab masing-masing.

Terkait alasan pemilihan lokasi Markas Kogabwilhan, telah direncanakan secara matang, dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek,dan salah satunya adalah korelasinya dengan program pembangunan yang dicanangkan Pemerintah untuk membangun Indonesia dari pinggiran.

“Dengan Konsep desentralisasi, menjadi salah satu pertimbangan strategis disamping perhitungan taktis untuk meningkatkan daya tangkal, memperkuat kolaborasi serta memperpendek rantai komando dan logistik disaat krisis,” tegas Panglima.

“Kehadiran Markas Kogabwilhan I di Tanjungpinang, menjadi bentuk kehadiran negara untuk melindungi integritas dan keutuhan wilayah NKRI serta keselamatan segenap bangsa,” tutupnya.

Menyusul dibentuknya Kogabwilhan I dengan pimpinan tertinggi di jabat oleh Jendral Bintang tiga dari Matra TNI AL di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Selanjutnya mulai 5 Desember 2022 yang lalu, Markas Komando Armada I (Koarmada I) resmi berpindah dari Jakarta ke Tanjungpinang, pemindahan ini bertepatan dengan perayaan Hari Armada yang jatuh setiap tanggal 5 Desember.

Armada kapal perang yang di operasikan dibawah koarmada I juga, saat ini lebih banyak di siagakan di dermaga Mentigi , Tanjung Uban, Kabupaten Bintan yang masih satu daratan dengan Kota Tanjungpinang yakni Pulau Bintan.

Motivasi Tiongkok dan Harapan Terhadap Pemerintah RI

Guru Gembul, seorang content creator yang kerap membedah berbagai ilmu pengetahuan dalam channel youtubenya, mengungkapkan alasan agresifnya Tiongkok di laut china selatan. Ia berpendapat, bahwa Tiongkok ingin membangun proyek infrastruktur terutama terkait perdagangan dengannya.

“Semacam jalur sutra zaman dulu, agar produk china bisa membanjiri pasar pasar dari wilayah yang ada di sekeliling nya. dengan membuat jalur transportasi yang menghubungkan China dengan negara sekitarnya,” ungkapnya dalam dalam videonya.

Disisi lain dalam videonya, Guru Gembul juga mengungkapkan, sosok Presiden Tiongkok Xi Jin Ping sebagai Presiden paling berkuasa saat ini, dan berpotensi menjadi negara adidaya. “Negara Adidaya itu pemain baru nya adalah Tiongkok, negara komunis terbesar di dunia, sejak 2014 sampai sekarang menjadi negara industri terbesar dunia,” jelasnya.

Sementara bagi pengamat Hubungan Internasional Unpad, Teuku Rezasyah, berharap kepada Prabowo sebagai Calon Presiden Indonesia terpilih, yang diketahui berlatar belakang militer akan memiliki cara berfikir yang berbeda dengan presiden RI sebelum yang sipil ” Militer lebih berfikir akselerasi cara berfikir diagonal, dan pada saat itu swot harus berjalan dan pertumbuhan juga terus.

Menurutnya hal itu tentu yang dikhawatirkan pihak manapun yang jika suatu negara di jabat oleh militer, cara berpikir berbeda aturan lebih cepat dan progres yang lebih cepat juga. Semoga potensi konflik di Laut China Selatan ada solusi jalan keluarnya.

editor : oktarian

reporter : dwi susilo