Konseptual dan Filosofi Arsitektur Dekonstruksi Jewish Museum Berlin

0

Ditulis dan disusun oleh :

1.Debora Ratna Cempaka,

2.Rika Ayunda,

3.Salsabilla Putri Andhina.

Mahasiswi Jurusan Arsitektur Universitas International Batam

Cover Foto Jewish Museum Berlin dari atas, Sumber : the-talks.com

Apakah kalian kerap memperhatikan arsitektur yang biasanya berada di tengah kota dan sangat mencolok dibanding yang lain? Tak jarang bangunan-bangunan ini menjadi bangunan yang ikonik pula. Bangunan kontras tersebut adalah bangunan yang mengambil aliran gaya arsitektur dekonstruksi. Seperti halnya Museum Yahudi di Berlin, Jerman dengan mengambil olah bentuk zig-zag.

Dekonstruksi menjadi gaya arsitektur yang banyak menuai pro maupun kontra karena representatifnya yang dianggap tak lazim. Gaya ini terisnpirasi dari dua peristiwa mengenai paham Deconstruction Derrida terkait tata bahasa dan Konstruktivisme di Rusia pada seni rupa. Terdapat ketidakpastian mengenai siapa yang mempengaruhi gaya arsitektur ini. Entah itu Jaques Derrida seorang filsafat atau Gerakan Konstruktivis Rusia. Maka Geoffrey Broadbent seorang arsitek membedakan dua hal tadi menjadi Deconstruction dan Deconstructivism dengan pengaruh pehaman bersumber dari masing-masing cetusan.

 

Foto : Pameran Dekonstruktivis New York’s Museum of Modern Art, 1988, Sumber: archdaily.com

Dekonstruksi muncul setelah perkembangan postmodern tahun 1980-an. Dekonstruksi Arsitektur kali pertama diperkenalkan pada pameran Museum Modern of Art, New York bertajuk “Deconstructivist Architecture” pada 23 Juni-30 Agustus 1988.

Sebenarnya karakteristik apa yang ada dalam gaya arsitektur dekonstruksi? Sederhananya, gaya dekonstruksi memiliki gaya yang berbeda dari sekitarnya. Menggunakan desain tak lazim serta kontras hingga terlihat menonjol. Pengolahan rancangannya bebas dan tidak terpaku pada stuktural yang sistematis seperti di dalam buku. Kontras ini bisa dilihat dari bentuk, warna, konstruksinya, dan lain-lain.

Pengkajian mengenai salah satu contoh arsitektur dekonstruksi dapat dilihat dari Jewish Museum, Berlin. Adakah yang pernah ke sana? Atau sekedar melihat-lihat dari Google Maps? Bangunan menganut sejarah Yahudi di Berlin ini memiliki penataan tidak lazim yang menjadi kekhasan arsitektur dekonstruksi.

 

Foto : tampak samping Jewish Museum Berlin, Sumber: flickr.com

Arsitek perancang Jewish Museum, Daniel Libeskind merancang bangunan ini dalam kempetisi/komisi mengenang sejarah keberadaan kaum Yahudi di Jerman serta peristiwa Holocaust. Museum ini menampilkan sosial, politik, dan kebudayaannya. Selain perannya dalam merancang Jewish Museum, Libeskind terkait secara internal dengan proyek ini karena ia menjadi salah satu kaum Yahudi yang keluar dari Jerman untuk mempertahankan diri dari peristiwa Holocaust. Karenanya rancangan ini tidak sekedar sebuah kompetisi tetapi sekaligus bentuk membangun dan mengamankan identitas di Berlin yang sempat hilang selama PD II.

 

Konsep 3D Jewish Museum Berlin, Sumber : 3dwarehouse.sketchup.com

Penciptaan Jewish Museum didasarkan dalam 3 konsep pembentukan. Pertama, ketidakmungkinan untuk paham mengenai sejarah Berlin tanpa mengerti intelektual, kontribusi ekonomi, dan budaya yang dimiliki oleh bangsa Yahudi di Berlin. Kedua, pengintegrasian fisik dan rohani tentang arti Holocaust di dalam ingatan dan kesadaran dari kota Berlin. Ketiga, bahwa dengan pengakuan dan penggabungan ini penghapusan dan kekosongan dari kehidupan dan sejarah Yahudi di Berlin memiliki masa depan manusia yang lebih baik. Kita bisa merasakan penuangan ekspresi yang diberikan Libeskind lewat bangunan Jewish Museum yang berkonseptual kosong, ketiadaan, dan ketidaknampakan. Penerapan desain ini terlihat formal radikal sebagai alat ekspresif konseptual yang mewakili. Secara tidak langsung memberikan ekspresi hilangnya budaya Yahudi.

 

Stair Continuity II, Sumber : pinterest.co.uk

Untuk masuk ke dalam Jewish Museum ada tiga akses utama yang bisa dilalui dengan ujung bagian utama kompleks bangunan. Akses pertama adalah akses terpanjang berujung pada Stair Continuity II. Akses kedua mengantarkan ke Garden of Exile, taman dengan 49 pilar beton dengan tanaman di atasnya mengambang jauh dari jangkauan. Permukaan taman miring sehingga ketika berjalan di antara pilar-pilar akan dibuat perasaan seolah-olah tidak seimbang dan disorientasi. Elemen ini menjadi bentuk representatif bagaimana perasaan ketika kaum yahudi mencoba keluar dari Jerman dengan arah tidak pasti. Akses ketiga atau terakhir akan membawa pengunjung menuju pintu hitam yang dibaliknya ada ruang kosong bervoid 24 meter dinamakan Holocaust Void. Tempat ini diatur tanpa pengatur udara maupun pencahayaan buatan. Sehingga memberikan kesan penegasan kosong juga gelap mencekam seperti yang dirasakan para korban Holocaust. Meski Holocaust Void dan Garden of Exile adalah dua massa yang terpisah dari bangunan utama, keduanya adalah satu kesatuan yang berhubungan.

 

Holocaust Void, Sumber: archdaily.com

 

Libeskind juga menyebutkan pengerjaan Jewish Museum bermakna penggambaran dua garis pemikiran yaitu Organisasi dan Hubungan (antara sejarah kaum Yahudi dan sejarah Jerman). Kita bisa melihatnya dalam bentuk bangunan tersebut berupa satu garis terpecah menjadi fragmen-fragmen. Meski garisnya tampak patah-patah, alirannya masih saling menyambung

Foto : Garden of Exile, Sumber : fcit.usf.edu

dan menerus meski dengan arah tidak pasti. Dari pemikiran ini, terciptalah penggunaan bentuk dasar yang geometris.

Struktur sudutnya memberikan kesan tajam dan kuat serta tegas dengan pemakaian dinding logam dan beton gelap di setiap sisinya. Tampaknya juga semakin menambahkan kesan jurang dan malapetaka dalam budaya yahudi selama tahun-tahun sulit. Dicirikan dengan berlapisan seng kilau, garis tak beraturan, dan zig-zag bintang masuk melalui celah asimetris mengingatkan seberapa brutal tusukannya.

 

Denah Jewish Museum, Sumber: archdaily.com.

Perpotongan Jewish Museum, Sumber : libeskind.com

 

foto : Sudut bangunan Jewish Museum, Sumber: archdaily.com

Visi Daniel Libeskind untuk mewakili pesan masa lalu kepada Berlin, Jerman berhasil tidak hanya sampai pada disitu tetapi juga pada dunia. Banyak yang ia integrasikan mampu memberikan pemahaman masa lalu dan asimilasi ke dalam arstektur dan interior. Implementasinya ke dalam bentuk-bentuk tidak harmonis mampu meninggalkan kesan kuat dan memberikan impresi ke banyak orang-orang hanya dengan melihatnya. Tidak hanya mementingkan sisi estetika tetapi mengutamakan filosofi kuat sebagai dasar penyampaiannya. Sebagai ciri arsitektur dekonstruksi yang tidak hanya mengambil point of interest tetapi mewakili pesan dalam bentuknya.

Sumber Referensi :

1. archdaily.com

2. berlin.de

3. media.neliti.com

4. tocapu2017.wordpress.com